Seorang pemenang takkan pernah berhenti untuk berusaha dan orang yang berhenti untuk berusaha takkan menjadi seorang pemenang

Marketing Politik

Jauh sebelum itu terminologi marketing politik berdasarkan sejumlah literatur dikatakan, pada awalnya, ketika kampanye bagi kepentingan Napoleon di Mesir, di mana tindakan Talleyrand dalam memberikan saran kepada Menteri Hubungan Luar Negeri Perancis saat itu, akan tetapi, sebagian besar lebih merujuk kepada Joseph Goebbels dengan film-film dari Leni Riefenstahl melalui slogan-slogan politik dari Nazi dan pemerintahan Reich Ketiga yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler sebagai bagian dari propaganda politik. Namun, hal ini masih juga harus melalui perdebatan yang kompleks mengenai terminologi-nya.

Dalam era perkembangannya marketing politik modern sebetulnya merupakan elaborasi yang dilakukan oleh para profesional iklan produk asal Amerika Serikat. Semasa Presiden Franklin D Roosevelt menjabat sekitar tahun 1932 sudah terdapat sebuah program penyiaran melalui media radio yang lebih terkenal dengan nama program Fireside Chats dengan Franklin D Roosevelt. Hingga pada tahun 1933 di California berdiri sebuah perusahaan biro iklan yang pertama kali dalam marketing politik bernama Campaign, Inc. yang didirikan oleh Clem Whitaker dan Leone Baxter sebagai cikal bakal dari industri politik (Wikipedia).

Sebagai subjek akademis perkembangan political marketing dimulai dari Amerika Serikat (Braine et al, 1999). Dari waktu ke waktu penekanan definisi pemasaran politik mengalami perubahan: Shama (1975) & Kotler (1982) memberikan penekanan pada proses transaksi yang terjadi antara pemilih dan kandidat. O"Leary & Iradela (1976) menekankan penggunaan marketing-mix untuk mempromosikan partai-partai politik.

Lock dan Harris (1996) mengusulkan agar political marketing memperhatikan proses segmentation, targeting, dan positioning. Wring (1997) menekankan penggunaan riset opini dan analisis lingkungan. Sementara itu, Henneberg (1996) menganggap definisi pemasaran politik seharusnya disesuaikan dengan teori pemasaran relasional.

Penulis buku Marketing Politik Firmanzah, PhD, menyebut perdebatan yang tak pernah usai karena itu merupakan persinggungan antara ilmu marketing dan politik yang ujungnya berdampak kepada pro dan kontra. Padahal, sejatinya marketing politik telah dilakukan tidak hanya di negara maju seperti Amerika dan Eropa. Tetapi, kita juga dapat melihat fakta-fakta bahwa marketing politik praktiknya telah diterapkan di Indonesia. Marketing politik dilihat sebagai kebutuhan ketimbang sebagai suatu polemik sosial dan politik (Firmanzah, 2007).

Faktor Persaingan
 
Sejak bergulirnya reformasi sistem pemerintahan dan hukum ketatanegaraan kita terus berubah. Ini memberikan peluang terhadap lebih terbukanya praktek marketing politik. Kunci utamanya jelas terjadi persaingan yang semakin ketat dan terbuka.

Diawali dari lahirnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Ini  memberi ruang kepada setiap pasangan kandidat Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mempromosikan dirinya --agar dipilih rakyat.

Kemudian, pemilu legislatif DPR, DPD, dan DPRD juga sama. Belakangan konstalasi persaingan politik semakin seru menyusul dikabulkannya permohonan calon kepala daerah dari jalur independen (perseorangan) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 23 Juli 2007 beberapa tahun lalu.

Perubahan struktur mekanisme pemilihan kepala daerah tersebut membawa dampak yang besar terhadap perkembangan studi mengenai political marketing. Terutama perilaku pemilih (voter behavior) di Indonesia. Karena, untuk memenangkan sebuah pemilihan umum, termasuk pilkada, seorang pasangan kandidat dan partai dituntut untuk mengetahui pemilih sasarannya (Kotler dan Kotler, 1999).

Dengan iklim demokrasi yang berkembang secara pesat memberi jalan bagi munculnya kampanye dan strategi pemasaran politik yang lebih inovatif. Sesuatu yang amat wajar kalau persaingan politik terjadi amat ketat ketika pilkada digelar di seluruh Indonesia.

Setiap pasangan kandidat bahkan berani mengeluarkan uang hingga miliaran rupiah untuk promosi. Tujuannya amat pasti untuk dikenal, disuka, disimpati, dicinta, dan dipilih. Dan, popularitas menjadi target sangat penting demi membangun citra positif pasangan kandidat.

Dalam ilmu marketing --marketing esensinya adalah sebuah transaksi pertukaran nilai. Sedangkan transaksi politik terjadi ketika seseorang hendak memilih partai politik atau pasangan-pasangan kandidat. Sebagai konsumen pemilih membuat keputusan menukarkan hak suaranya dengan harapan akan terbentuk pemerintahan yang baik --berpihak kepada rakyat.

Jika disimpulkan setidaknya ada lima faktor kenapa pemasaran politik cepat berkembang di Indonesia?

Pertama, sistem multi partai yang memungkinkan siapa saja boleh mendirikan partai politik dan konsekuensinya menyebabkan persaingan tajam antar partai politik.

Kedua, pemilih telah lebih bebas menentukan pilihannya dibandingkan pemilu sebelumnya sehingga syarat bagi penerapan pemasaran politik terpenuhi.

Ketiga, partai-partai lebih bebas menentukan platform dan identitas organisasinya.

Keempat, pemilu merupakan momentum sejarah yang penting dalam perjalanan bangsa sehingga pihak-pihak berkepentingan terutama para elit politik akan berusaha keras untuk ambil bagian.

Kelima, sistem pemilihan anggota DPR, DPD dan presiden secara langsung serta pemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur, bupati, dan walikota (Nursal, 2004).

Produk Politik dan Keputusan Memilih
Dalam marketing politik produk politik terbagi. Yakni policy (program, isu, dan
program kerja), person (figur pasangan kandidat dan figur pendukung), party
(ideologi, struktur, dan visi-misi dari partai yang mencalonkan). Dan, presentation
(medium komunikasi/ konteks simbolis) (Dan Nimmo 1993 dalam Nursal 2004).

Sebelum seorang konsumen–pemilih melakukan pemilihan terhadap berbagai alternatif pemuas kebutuhannya mereka telah melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut meliputi pengenalan masalah, pencarian informasi mengenai produk, evaluasi
alternatif, keputusan memilih, dan perilaku pasca pemilihan (Solomon, 1999).

Berdasar kepada teori tersebut kita akan lebih mudah mempetakan atau bahkan tanpa disadari sudah mempraktikannya --saat kita sedang mengikuti proses pilkada mulai dari masa kampanye hingga ketika berada di bilik suara. Artinya pada saat yang sama pula proses transaksi --pertukaran nilai, sebagai keputusan menukarkan hak suaranya kepada pasangan kandidat dengan harapan memperoleh nilai di mana ingin tercipta sebuah pemerintahan yang baik sekaligus pro rakyat, terjadi.

Namun, pertanyaannya, selaku konsumen alias pemilih, sudah puaskah kita dengan kualitas produk yang kita beli dan kita gunakan itu? Nah, dalam pilihan politik tentu kita mesti melihat seperti apa kualitas kinerja dan janji politik pada saat jualan kampanye. Berarti kita tunggu saja janjinya selama masa kepemimpinannya! Bagaimana pendapat anda? 

0 Komentar

    Tambah Komentar