Para penggugat UU tersebut menilai ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan dibiayainya UU tersebut oleh asing. Pertama, liberalisasi sektor Migas. Kedua, internasionalisasi harga Migas di dalam negeri. Ketiga, agar investor asing bisa masuk ke sektor hilir yang lebih kecil risikonya dibandingkan sektor hulu, namun justru labanya lebih besar.
Dengan berlakunya UU tersebut maka penjajahan model baru, dalam hal ini liberalisasi ekonomi, di bidang migas yang menyangkut hajat hidup orang banyak telah berlangsung.
Para pengaju judicial review kini bisa bernafas lega, setelah MK membatalkan UU tersebut. Dalam bagian pertimbangan putusan MK disebutkan bahwa alasan konstitusional putusan adalah, migas sebesar-besarnya harus untuk kemakmuran rakyat.
Maka, menurut dia, Migas harus efektif dikuasai negara dalam tiga tingkatan, yaitu negara harus melakukan pengelolaan secara langsung, membuat kebijakan dan pengurusan, serta pengaturan dan pengawasan dilakukan langsung oleh pemerintah.
Cost Recovery
Konsekuensi dari batalnya UU Migas Tahun 2001 adalah pembubaran
lembaga pemerintah bernama BP Migas yang lahir karena adanya UU
tersebut. Pembubaran itu, menurut peneliti Institute for Global Justice
(IGJ) Salamuddin Daeng, memang harus dilakukan.
Hal ini berkaitan dengan telah terjadinya praktik pengelolaan migas
model “calo” melalui BP Migas, terbukti menjadi sumber hilangnya
kedaulatan negara atas migas dan terjadinya korupsi dana cost recovery.
Dengan adanya putusan MK tersebut, menurut Daeng, dapat menjadi dasar
bagi negara melalui pemerintah untuk melakukan penguasaan penuh
terhadap kekayaan minyak nasional, sebagaimana yang diamanatkan oleh
konstitusi UUD 1945 yang asli.
Dengan bubarnya BP Migas, pemerintah telah mengeluarkan Perpres No 95
Tahun 2012, untuk mencegah kevakuman sekaligus memberikan kepastian
bagi para pelaku usaha hulu migas di Indonesia. Lahirnya Perpres
tersebut prinsipnya juga untuk menentukan bahwa eks BP Migas pada masa
transisi ini nantinya akan berada di bawah Menteri ESDM.
Daeng mengatakan, seharusnya eks BP Migas jangan ditempatkan di bawah
Menteri ESDM, tapi pemerintah menjadikan pembubaran itu sebagai pintu
masuk untuk mengembalikan otoritas BUMN Pertamina dalam mengontrol penuh
pengelolaan minyak di hulu.
Posisi Pertamina, menurut dia, harus kembali diperkuat oleh
pemerintah dengan memberikan hak kembali kepada BUMN itu untuk
menguasai, mengontrol, dan mengelola migas nasional. Pertamina juga
harus memiliki kewenangan untuk membuat kontrak dengan
perusahaan-perusahaan swasta, baik nasional maupun asing.
Dua pengamat perminyakan, Kurtubi dan Pri Agung Rakhmanto memberikan
pendapat senada. Menurut Kurtubi, Direktur Eksekutif Center for
Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), Indonesia harus berkaca
pada Malaysia. Petronas lah yang melakukan kontrak dengan pelaku usaha
asing maupun dalam negeri.
Jadi bukan pemerintah Malaysia langsung. Hal serupa, kata dia, juga
dilakukan oleh negara-negara kaya minyak, seperti Venezuela, Iran, dan
Libia.
Sementara itu, Pri Agung, Direktur Reforminer Institute mengatakan,
pengalihan BP Migas menjadi unit di bawah Kementerian ESDM berdasarkan
Perpres No 95 Tahun 2012 harus bersifat sementara. Bila unit itu
nantinya berjalan dalam waktu lama, dan bahkan permanen, maka sejatinya
akan sama dengan BP Migas.
Agar tercipta relasi B to B yang lebih benar daripada G to B, maka
sudah seharusnya eks-BP Migas diserahkan kepada Pertamina. Dengan tetap
ada fungsi pengawasan yang kuat dari pemerintah, sehingga tidak ada
istilahnya BUMN yang begitu kuat akan menjadi negara dalam negara.
Di sinilah pentingnya pengawasan dan pengetatan di Pertamina, sehingga tidak terjadi lagi korupsi seperti masa lalu. (Hartono Harimurti)
0 Komentar