Seorang pemenang takkan pernah berhenti untuk berusaha dan orang yang berhenti untuk berusaha takkan menjadi seorang pemenang

Kisah Pencari Kayu Bakar yang Hingga Kini Tak Mampu Beli Gas


SEMANGAT: Karsiman, pencari kayu bakar bergegas pulang setelah mengumpulkan kayu bakar di Desa Slungkep, Kayen
 

KAYEN – Migrasi minyak ke gas sejak 2009 menggeser kebiasaan masyarakat. Yakni menjauhkan masyarakat memasak menggunakan kayu bakar. Bahan bakar ini sekarang hanya ditemui ketika ada acara hajat seperti acara pernikahan di desa. Akibatnya para penjual kayu bakar mulai terabaikan jasanya.

Karsiman, warga Desa Sumbersari mengatakan, dia setiap harinya mencari kayu bakar di sekitar lokasi penambangan padas. Untuk kebutuhan memasak, dia masih menggunakan kayu bakar setiap hari. ”Sebab sampai saat ini dia belum bisa membeli gas. Hal itu dikarenakan dia belum mampu membelinya,” katanya.

Untuk bertahan hidup, ia mencari kayu bakar setiap hari. Kayu didapatkan dari sekitar area Pegunungan Kendeng. Di samping itu, kayu ia dapatkan dari sisa-sisa ranting atau batang pohon dari pemilik pohon jati. ”Kayu bakar dari Pegunungan Kendeng dan sisa ranting dari pemilik pohon jati di area tersebut,” jelasnya.

Pria tua ini mencari kayu bakar dengan berbekal sabit. Alat itu untuk memotong ranting atau batang pohon menjadi ukuran yang diinginkan. Selain sabit, ia berbekal tali karet untuk mengikat kayu bakar. ”Setiap hari saya cuma bermodal tali karet sama sabit dari rumah,” bebernya.

Untuk mengangkut kayu bakar, ia hanya mampu membawa sepeda dari rumah. Sebab dia belum mampu membeli motor. Ia mengaku bersyukur, meski hanya membawa sepeda onthel. Setidaknya, hal itu bisa mengurangi beban dalam membawa kayu bakar. ”Saya setiap hari mengangkut kayu bakar dengan sepeda. Sebab hanya itu yang bisa saya miliki,” terangnya.

Dia menceritakan, sudah mengumpulkan kayu bakar ini sejak usia muda. Sebab sejak kecil sudah diajari hidup susah oleh orang tua. Selain untuk kebutuhan memasak, dia juga menerima pesanan ketika ada warga yang meminta jasanya. ”Kebiasaan berat ini sudah saya rasakan sejak SD. Jadi rasa capeknya menjadi hal biasa dalam kehidupan saya,” paparnya.

Walaupun kebiasaan setiap hari mencari kayu bakar di gunung. Namun, anak-anaknya  bisa mengenyam sekolah hingga tingkat menengah. ”Saya hanya mampu menyekolahkan anak sampai SMP,” ujar Karsiman.

Saat ini, masyarakat sudah tidak membutuhkan jasanya. Karena sekarang masyarakat lebih memilih membeli gas daripada membeli kayu bakar. Setiap hari dia bisa mendapatkan 3-4 ikat. ”Padahal kayu bakar per ikatnya hanya Rp 5 ribu. Tetapi sekarang tidak ada peminatnya,” tuturnya. (fn/FN/MK)

0 Komentar

    Tambah Komentar